AJARAN agama mana pun di dunia ini, pasti tak ada yang membenarkan
perselingkuhan dalam rumah tangga. Begitupun dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, pasti memandang negatif perselingkuhan, termasuk
di negara-negara Barat sekalipun, yang terkenal dengan sekulerisme dan
hedonismenya. Pernikahan, benar-benar dianggap sebuah “wadah” yang harus
steril dari perselingkuhan, dan kesetiaan menjadi mutlak 100% bagi
pasangan suami-istri, tak peduli berapa pun umur pernikahannya, dan
bagaimanapun kondisi pernikahannya.
Akan tetapi, realitas hidup di masyarakat berkata lain. Tanpa perlu
data statistik yang resmi dan valid, kita pasti tahu betapa mudahnya
perselingkuhan dalam rumah tangga terjadi di masyarakat kita. Kita tak
perlu menonton sinetron, telenovela, atau infotainment di
televisi untuk bisa menyaksikan perselingkuhan, karena hal itu bisa kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di depan mata kita.
Perselingkuhan bisa dilakukan oleh tetangga kita, kerabat kita, saudara
kita, teman kita, teman kerja kita, atasan kita, guru/dosen kita,
sahabat dekat kita, orang tua kita, saudara kandung kita, atau bahkan
kita sendiri.
Perselingkuhan, dengan atau tanpa hubungan seks, meskipun jelas-jelas
haram menurut agama dan dicap buruk oleh masyarakat, pada kenyataannya
begitu mudah untuk ditemukan, bahkan untuk dilakukan. Perselingkuhan pun
bukan menjadi monopoli pihak tertentu. Perselingkuhan tak kenal status
sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi, domisili, bahkan
gender. Kemajuan media massa dan teknologi semakin memperparah
“mewabahnya” perselingkuhan. Istilah SII (selingkuh itu indah) seolah
menjadikan perselingkuhan sebagai tren yang populer di masyarakat. Kalau
kenyataannya seperti itu, kita jadi bertanya-tanya, ada apa di balik
semua ini? Apa yang salah? Dan… siapa yang salah?
Dipandang dari sudut agama, maraknya perselingkuhan bisa dianggap
sebagai indikasi menipisnya keimanan dan ketakwaan masyarakat kita, yang
katanya “masyarakat religius”. Di zaman globalisasi seperti sekarang
ini, memang hal-hal yang bersifat religi sering “terbenamkan” oleh
hal-hal duniawi. Tapi ternyata, permasalahannya tidak sesederhana itu.
Masalah perselingkuhan dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat
kompleks dan pelik, meski kita “biasa” mendengarnya. Kita harus
benar-benar berpikir secara jernih, objektif, proporsional dan bijak
dalam melihat masalah ini.
Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.
Tapi yang jelas, kita tak bisa “menghakimi” media massa dan teknologi
sebagai pihak yang salah. Karena meskipun media massa melalui televisi
begitu rajin menyuguhkan acara-acara sinetron, telenovela dan infotainment
yang menceritakan tentang perselingkuhan, dan juga koran/tabloid yang
juga rajin memuat berita atau cerita tentang perselingkuhan, yang bisa
saja menjadi “contoh” dan “inspirasi” yang tidak baik kepada penonton
dan pembacanya, tapi media massa hanyalah mengangkat potret masyarakat
kita yang sebenarnya, dan bukan didasarkan pada imajinasi semata ataupun
sebuah propaganda. Sedangkan teknologi, meskipun menghasilkan HP dengan
segala fasilitasnya, dan juga internet dengan segala fasilitasnya yang
menjadi booming di masyarakat kita bisa dijadikan “sarana” dan
“media” selingkuh yang mudah, cepat, efisien, dan efektif, tapi
teknologi hanyalah “alat bantu” manusia. Segala manfaat dan mudaratnya
sangat bergantung pada manusia sebagai subjek.
Secara simpel tentu saja perselingkuhan dalam rumah tangga berkaitan
langsung dengan pasutri yang bersangkutan. Salah satu pihak pasutri yang
berselingkuh pastilah dianggap sebagai pihak yang salah. Akan tetapi,
tanpa bermaksud “membela” pihak “peselingkuh” tersebut, kita juga harus
bisa melihat dan menilai secara objektif dan proporsional apa “latar
belakang” dan “penyebab” orang tersebut melakukan perselingkuhan. Kita
tak bisa memberi cap “peselingkuh” tersebut sebagai orang bejat, tidak
bermoral, atau orang tak beragama. Karena realitanya, tak sedikit
“peselingkuh” tersebut termasuk tipe suami/istri yang orang “baik-baik”,
cukup taat beribadah, dan bukan tipe orang yang “gatelan”, yang senangnya
kelayapan dan dugem setiap malam.
Ada banyak “motivasi” dan “latar belakang” pasutri melakukan
perselingkuhan, yang sebenarnya hal tersebut merupakan indikator
“ketidakberesan” di dalam rumah tangga mereka, walau sekecil apa pun.
Berbagai beban, tekanan, dan problem hidup yang menumpuk dan bervariasi
yang dialami pasutri di dalam rumah tangga mereka merupakan faktor
utama; mulai dari masalah ekonomi, masalah anak, masalah “keluarga
besar” (bisa dari keluarga salah satu pihak/malah kedua belah pihak),
masalah psikis, komunikasi yang buruk, tempat tinggal terpisah di kota
yang berjauhan, masalah pekerjaan, perbedaan status sosial dan
pendidikan yang mencolok, perbedaan persepsi dan idealisme yang
mencolok, “terjebak” pada rutinitas, kejenuhan, masalah seksual, dan
masih banyak lagi.
Semua masalah itu membuat rumah tangga pasutri mana pun menjadi
rentan perselingkuhan, yang kalau dibiarkan begitu lama dan intens bisa
menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa “meledak” dan menghancurkan
semua yang telah susah payah dibangun dari pondasi yang paling dasar.
Kehadiran WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain), baik yang masih single,
janda/duda, ataupun sama telah menikah, memang banyak dituding sabagai
biang kerok terjadinya perselingkuhan di dalam rumah tangga. Tak sedikit
istri yang langsung melabrak wanita selingkuhan suaminya, ataupun suami
yang langsung ngamuk kepada pria selingkuhan istrinya, begitu
mereka mengetahui perselingkuhan pasangannya. Tapi, benarkah semua
“kesalahan” itu harus ditimpakan kepada para WIL atau PIL? Kalau memang
rumah tangga mereka “baik-baik” saja, dan pasangan mereka pun
“baik-baik” saja, kenapa sampai bisa masuk “orang ketiga” di
tengah-tengah mereka?
Kita tak bisa langsung memberi cap WIL atau PIL itu sebagai “wanita/pria penggoda”, home broker (perusak rumah tangga orang), orang brengsek, “gatel”,
rendahan, tak bermoral, dsb. Karena meskipun banyak WIL atau PIL yang
berkarateristik seperti itu, tapi tak sedikit juga WIL atau PIL itu yang
orang “baik-baik”, cukup taat beribadah, berpendidikan, dan bukanlah
tipe orang yang “liar” atau “binal”. Selain itu, kita juga tak bisa menuduh “motivasi” mereka adalah
materi ataupun faktor ekonomi. Karena meskipun banyak WIL atau PIL yang
memang pangeretan dan materialistik, yang bisanya hanya
memanfaatkan uang atau harta selingkuhannya, tapi tak sedikit pula WIL
atau PIL yang “rela” berselingkuh dengan suami atau istri orang lain
yang jelas-jelas kere, boke, ataupun miskin. Tapi kenapa mereka mau juga melakukan perselingkuhan itu? Jelas, “motivasi” mereka bukanlah faktor materi.
Bisa jadi mereka sedang mengalami krisis perhatian, kasih
sayang, perlindungan, merasa benar-benar “kesepian”, kekosongan,
benar-benar butuh “sandaran”, dan “teman berbagi”. Atau bisa jadi juga
mereka menaruh suka, simpati, atau malah… jatuh hati. Bagaimana bila
ternyata suami atau istri yang berselingkuh itu sama-sama jatuh hati,
atau setidaknya sama-sama tertarik dengan WIL ataupun PIL-nya
masing-masing? Bukankah itu adalah masalah yang substansial? Tapi… bukankah perasaan “cinta” kepada orang yang bukan “pasangan
sah” tidak akan tumbuh subur dan merajalela, apabila kita bisa memupuk
dan merawat cinta kepada “pasangan sah” kita? Dan itu tentu saja harus
dilakukan oleh kedua belah pihak, bukan hanya salah satu pihak.
Kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dan keterbukaan benar-benar harus
menjadi “pilar” yang kokoh dalam berumah tangga, dan dilakukan oleh
pasangan suami istri atas dasar keikhlasan, bukan karena “keharusan” dan
“keterpaksaan” semata-mata.
Letak permasalahan topik ini bukan pada “siapa yang salah”, karena
hal tersebut justru akan menjadi polemik yang berkepanjangan dan tak ada
titik temu. Yang terpenting dalam masalah ini adalah, apa penyebab dan
latar belakang terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga tersebut,
dan bagaimana solusi terbaik untuk menyelesaikannya, yang dilakukan oleh
pasangan suami istri yang bersangkutan dan juga WIL/PIL-nya
masing-masing, karena yang paling tahu persis permasalahannya dan yang
mengalaminya langsung adalah mereka sendiri.
Seperti apa pun solusi yang mereka tempuh, atau seperti apa pun ending
dari perselingkuhan tersebut, sepatutnyalah dilakukan dengan cara-cara
yang bijak, dewasa, bermartabat dan untuk kebaikan semua. Bukan dengan
cara-cara yang barbar, kekanak-kanakan, arogan, dan egoistis. Jangan
sampai masalah perselingkuhan yang merupakan masalah “besar” dalam rumah
tangga, menjadi semakin “besar” dan “melebar” ke mana-mana, yang pada
akhirnya bukan hanya aib kita yang terekspos kepada umum, tapi juga
masalah “inti”-nya tidak akan terselesaikan, dan justru akan menyebabkan
kehancuran, yang semakin menambah penderitaan, luka, dan air mata.***
Komentar